Kala kecil aku diajarkan oleh orang berumur hutang itu selaku konotasi yang kejam. Wajib dijauhi, orang yang berhutang diasosiasikan dengan orang yang tidak betul. Anutan itu juga balik bersinambung di era sekolah. Ikon orang berhasil itu merupakan orang yang irit, hobi menyimpan uang, serta tidak sempat berhutang. Ajaran itu sedemikian itu kokoh di kepala, apalagi sempat membuat aku berdebat dengan sahabat mengenai hendaknya tidak berhutang kala era sekolah dulu.
Tetapi kala aku merambah bumi kegiatan, bumi yang sebetulnya, aku berlatih mengenai uraian yang berlainan. Tideak lagi hutang selaku federasi suatu yang kejam. Hutang itu kejam? Hutang yang mana dahulu? Kita butuh memandang hutang dari 2 bagian, hutang konsumtif serta hutang produktif. Apabila hutang dipakai sebab mempunyai permasalahan keuangan, semacam orang yang kita tahu, pasti saja hutang itu kurang baik. Tetapi berlainan ceritanya apabila hutang dipakai buat suatu yang produktif.
Hutang bermanfaat buat akselerasi perkembangan. Amati gimana negeri memakai hutang buat membuat ekonomi yang jauh lebih besar, yang kesimpulannya memajukan masyarakatnya. Contoh saja membuat jalur penting serta rumah sakit wilayah terasing yang mempermudah kehidupan disitu. Ataupun gimana korporasi memakai hutang buat melaksanakan perluasan yang membuat industri berkembang jauh lebih besar. Dalam rasio yang cocok, hutang bisa jadi perlengkapan ungkit yang bisa membagikan akibat positif luar lazim.
Saham perihalnya kala kita membeli properti. Apakah kita wajib menunggu terkumpul dananya dahulu terkini membeli? Harga rumah di Jakarta itu paling tidak 1, 5 miliyar, bila terkini terkumpul anggaran sebesar itu? Kemudian apakah dengan memakai KPR maksudnya kita merupakan orang yang kurang baik sebab berhutang? Pasti saja tidak. Dengan mempunyai rumah kita memperoleh kemapanan, kenyamanan. Perihal yang tidak dapat diukur dengan nilai, tetapi tingkatkan value serta self esteem kita.
Tidak seluruh yang kita pelajari dari kecil merupakan uraian yang pas. Selaku orang yang telah berusia kita butuh menilai lagi anggapan yang sedemikian itu kokoh tertancap semenjak kecil. Semacam perihalnya hutang. Anggapan kurang baik sebab kita diajarkan buat melihatnya cuma dari satu bagian. Sementara itu hutang itu tidak ubahnya pedan bermata 2. Apakah kita memakainya buat kebaika, ataupun aib?